Majemen konflik pada bahasan ini
merupakan manajemen konflik dalam organisasi. Menurut J Winardi: Organisasi
merupakan sebuah kesatuan sosial yang dikoordinasi secara sadar yang terdiri dari dua orang atau lebih guna
mencapai tujuan bersama. Organisasi dicirikan
oleh perilaku yang diarahkan kepada pencapaian tujuan. Organisasi mencapai
tujuan dan sasaran secara lebih efesien dan efektif melalui kegiatan terpadu
sejumlah individu dan kelompok[1]. Dalam mencapai tujuan bersama sering terjadi konflik yang sering
menjadi masalah serius dalam organisasi. Konflik dapat menciptakan kondisi yang
kacau yang membuat anggota organisasi tidak dapat bekerja bersama.
Dipihak lain konflik mempunyai sisi positif yang menimbulkan kekuatan sehingga anggota organisasi dapat bekerja secara
efektif . Oleh karena itu konflik perlu dikelola
sehingga dapat menguntungkan bagi organisasi.
Sebelum menjelaskan “Management Konflik” perlu penyamaan persepsi tentang pengertian konflik. Stephen
P. Robbins mendefenisikan konflik adalah proses yang ketika satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera
mempengaruhi secara negatif sesuatu yang
menjadi kepedulian pihak pertama[2].
Definisi ini menjelaskan bahwa titik tertentu pada setiap kegiatan yang tengah
berlangsung, terjadi interaksi ”bersilangan”
dapat menjadi konflik antar pihak. Merurut
Rivai dan Murni bahwa pada dasarnya
konflik bermula pada saat satu pihak dibuat tidak senang oleh, atau akan
berbuat tidak menyenangkan kepada pihak lain mengenai sesuatu hal yang oleh
pihak pertama dianggap tidak penting[3]. Dengan demikian konflik memiliki rentang tingkat konflik dari tindakan yang
terbuka dan penuh kekerasan sampai pada
bentuk halus ketidaksepakatan.
B.
Pandangan Tentang Konflik
Banyak pemikiran bahwa konflik harus
dihindari dan ada pula yang menyatakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar
dan tidak terelakkan dan tidak perlu dianggap buruk melainkan menjadi kekuatan
positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Perspektif baru bahwa konflik mutlak
diperlukan agar kelompok atau organisasi bekerja secara efektif. Ketiga
pandangan ini dijelaskan Stephen P. Robbins sebagai berikut:
1.
Pandangan Tradisional
Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dipandang
secara negatif dan disinonimkan dengan kekerasan, pengrusakan dan irrasionalitas. Berdasarkan defenisi ini konflik memiliki sifat dasar merugikan dan
harus dihindari.
2.
Pandangan Hubungan Manusia
Pandangan hubungan manusia mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang
wajar/ alamiah dan tidak terhindarkan dalam setiap kelompok/organisasi dan
tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan
positif dalam menetapkan kinerja kelompok.
3.
Pandangan Interaksionis
Perspektif ketiga mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat
menjadi kekuatan positif dalam kelompok namun konflik juga sangat diperlukan agar
kelompok berkinerja secara efektif.
Pendekatan ini mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif,
tenang, damai dan serasi cendrung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi[4].
Oleh karena itu untuk mengatakan
konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat. Apakah konflik itu baik atau
buruk tergantung pada tipe konflik. Beberapa konflik
mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerja organisasi, inilah bentuk
konflik yang konstruktif atau fungsional. Disamping itu ada konflik yang
merintangi kinerja kelompok disebut konflik yang destruktif atau disfungsional. Apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sangat tergantung kepada jenis konflik.
Ada 3 jenis konflik yaitu tugas, hubungan dan proses. Konflik tugas,
menghubungkan isi dan sasaran kerja. Konflik hubungan, berfokus pada
hubungan antar pribadi. Konflik proses, berhubungan dengan cara
melakukan pekerjaan.
Kajian-kajian para ahli
menunjukkan bahwa konflik hubungan
yang tinggi hampir selalu disfungsional.
Hal ini karena pengesekan dan permusuhan antar pribadi akan meningkatkan
ketidak-serasian kepribadian dan menurunkan rasa saling pengertian sehingga
menghambat penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Disisi lain konflik tugas
dan konflik proses yang rendah sampai
sedang bersifat fungsional. Pertanyaan adalah siapa yang harus melakukan apa?
Jika pertanyaan ini menciptakan ketidakpastian tentang peran dan tugas,
meningkatkan waktu penyelesaian tugas dan hasilnya maka para anggota akan
bekerja dengan tujuan-silang (tidak menentu). Hal ini juga dapat
bersifat disfungsional. Konflik tugas yang rendah sampai dengan sedang secara
konsisten menunjukkan danpak positif pada kinerja kelompok/ organisasi karena
konflik itu akan merangsang diskusi tentang gagasan-gagasan yang
membantu kelompok berkinerja lebih baik.
Konflik bersifat fungsional/
konstruktif bila konflik itu memperbaiki kualitas keputusan, merangsang
kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan
anggota kelompok, menjadi saluran yang merupakan sarana penyampaian masalah dan
peredaan ketegangan dan memupuk lingkungan evaluasi diri serta perubahan.
C.
Manajemen
Konflik
Jika konflik bersifat disfungsional, apa yang dapat dilakukan untuk
meredakannya? Atau sebaliknya pilihan-pilihan apa yang ada jika konflik terlalu
rendah (menciptakan konflik)? Hal
ini membawa kita pada persoalan managemet konflik.
Di atas telah diuraikan tentang konflik, selanjutnya untuk memehami
management konflik ini dikutip pendapat Dachnel Kamars tentang manajemen yaitu usaha
memanfaatkan berbagai sumber yang bersifat fisik dan non fisik untuk
menyelesaikan sesuatu pekerjaan atau masalah dengan baik[5]. Dari pengertian
ini dapat kita pahami bahwa manajemen konflik merupakan usaha untuk
memanfaatkan konflik dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Management
konflik merupakan bahasan bagaimana mengelola konflik dengan baik sehingga
konflik tersebut bersifat konstruktif.
Jenis konflik hubungan atau permusuhan antara pribadi dalam suatu
organisasi perlu segera diselesaikan karena akan berakibat tidak baik
(destruktif) terhadap organisasi. Konflik tugas rendah dan sedang perlu
dikelola (maneg) dengan baik sehingga jangan sampai menimbulkan ketidakpastian
tentang peran dan tugas dari masing-masing anggota. Jika konflik tugas ini
tinggi maka anggota organisasi akan bekerja tidak menentu dan merugikan
organisasi. Demikian pula hal dengan konflik proses yang berkaitan dengan
bagaimana cara melakukan suatu pekerjaan. Jika komflik ini tinggi dan
menyebabkan anggota bekerja tidak menentu atau tidak ada kepastian tugas
(deskripsi tugas) akan berakibat destruktif (disfungsional) bagi organisasi.
Konflik proses rendah dan sedang akan merangsang munculnya ide-ide atau diskusi
agar anggota bekerja dengan lebih baik.
Guna
dapat mengelola konflik sehingga bersifat menguntungkan bagi organisasi maka
perlu memahami beberapa hal yang menyebabkan konflik, teknik memecahkan konflik
dan bagaimana merangsang konflik. Pemahaman yang mendalam tentang konflik akan
dapat mengelola konflik yang menguntungkan bagi organisasi dan menghindari
berbagai konflik yang merugikan bagi organisasi.
a. Penyebab
Timbulnya Konflik
Terdapat beberapa faktor
penyebab konflik. Pada uraian ini akan dijelaskan beberapa faktor sebagai mana dikemukanan Rivai dan Murni yaitu: adanya saling ketergantungan,
perbedaan tujuan dan prioritas, faktor birokrasi (lini-staf), kriteria
penilaian prestasi yang tidak tepat, dan persaingan atas sumber daya yang
langka[6].
1) Saling Ketergantungan
Masing-masing subunit atau kelompok dalam
organisasi mengembangkan suatu keinginan untuk memperoleh otonomi dan mulai
mengejar tujuan dan kepentingannya masing-masing. Adanya saling ketergantungan
aktivitas dari subunit menginginkan adanya otonomi, menyebabkan terjadinya konflik dalam organisasi.
2) Perbedaan tujuan dan Prioritas
Perbedaan orientasi dari masing-masing
subunit/kelompok mempengaruhi cara dari masing-masing subunit mengejar
tujuannya dan sering kali dari tujuan masing-masing subunit tersebut saling bertentangan yang menyebakan
terjadinya konflik.
3) Faktor Birokrasi (Lini-staf)
Faktor birokrasi merupakan konflik antara fungsi
atau wewenang garis dan staf. Fungsi atau wewenang garis adalah keterlibatan
secara langsung dalam menghasilkan keluaran organisasi. Manajer/Pemimpin lini
berwewenang dalam pengambilan keputusan dalam lingkup bidang fungsionalnya.
Dalam beberapa organisasi orang-orang yang berada dalam fungsi lini menganggap
dirinya sebagai sumber organisasi yang
menentukan dan orang yang berada pada fungsi staf sebagai pemain nomor dua.
Tindakan seperti ini menimbulkan adanya konflik dalam organisasi
4) Kriteria Penilaian Prestasi Yang
Saling Bertentangan
Kadang kala konflik dalam organisasi tidak
disebabkan karena tujuan yang saling bertentangan tetapi cara organisasi dalam
menilai prestasi yang dikaitkan dengan perolehan imbalan. Oleh karena itu dalam
suatu organisasi perlu ditentukan kriteria penilai prestasi (standar penilaian)
sehingga tidak membawa kepada konflik yang destruktif (buruk).
5) Persaingan Terhadap Sumber daya Yang
Langka
Persaingan dalam memperebutkan sumber daya tidak
akan menimbulkan konflik manakala sumber daya yang tersedia berlimpah sehingga
masing-masing sub unit dalam organisasi dapat dimanfaatkan sesuai dengan
kebutuhan. Akan tetapi ketika sumber daya yang ada tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan dari masing-masing subunit dalam organisasi, maka masing-masing sub
unit berupaya untuk mendapatkan porsi sumber daya yang langka tersebut lebih
besar dari yang lainnya maka konflik mulai muncul. Sumber daya yang paling
sering menimbulkan konflik adalah sumber daya keuangan, karena sumber daya
tersebut pada sebagian organisasi merupakan sumber daya yang langka.
b. Teknik Pemecahan Konflik
1) Pemecahan masalah; pertemuan tatap muka pihak-pihak yang
berkonflik dengan maksud mengidentifikasi masalah dan memecahkannya melalui
pembahasan terbuka
2) Sasaran atasan; menciptakatan sasaran bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama
masing-masing pihak yang berkonflik
3) Perluasan Sumberdaya; bila konflik disebabkan
oleh kelangkaan sumberdaya misalnya, uang, kesempatan promosi, perluasan kantor, dll.
4) Penghindaran; menarik diri atau menekan konflik
5) Penghalusan; mengabaikan arti perbedaan sembari menekan
kepentingan bersama antara pihak-pihak yang berkonflik
6) Kompromi; setiap pihak yang berkonflik mengorbankan
sesuatu yang berharga
7) Komando Otoritatif; manajer/pemimpin menggunakan otoritas formal untuk menyelesaikan konflik dan kemudian
mengkomunikasikan keinginannya ke pihak-pihak yang terlibat
8) Mengubah Variabel Struktur; mengubah struktur
organisasi dan pola struktur interaksi pihak-pihak yang berkonflik melalui
perancangan ulang pekerjaan, pemindahan, penciptaan posisi koordinasi dan
lainnya[7]
c. Teknik Perangsangan Konflik
1)
Komunikasi; mengunakan pesan-pesan
yang bermakna ganda atau mengancam untuk meningkatkan tingkat konflik
2)
Memasukkan
orang luar; menambahkan
anggota yang berlatar belakang, nilai, sikap yang berbeda dari anggota-anggota
yang ada kedalam kelompok/organisasi
3)
Restrukturisasi
organisasi; mengatur
ulang kelompok-kelompok kerja, mengubah tatanan dan peraturan, meningkatkan
rasa saling ketergantungan dan mengubah struktur.
4)
Mengangkat
oposisi; menunjuk penggirik untuk dengan sengaja menentang pendirian mayoritas yang
dipegang oleh kelompok/organisasi[8]
D.
Penutup
Banyak orang secara serta
merta menganggap bahwa konflik terkait dengan penurunan kinerja kelompok dan
organisasi. Dari penjelasan di atas asumsi itu belum tentu benar.
Konflik dapat bersifat konstruktif maupun destruktif terhadap fungsi kelompok
atau organisasi. Untuk itu diperlukan management konflik sehingga
tingkat konflik tetap optimal. Tingkat konflik yang optimal jika terdapat cukup
konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan pelepasan
ketegangan, dan memprakarsai benih-benih perubahan.
Tingkat konflik yang tidak
memadai atau berlebihan dapat merintangi efektivitas kelompok atau organisasi,
yang berakibat kekurangpuasan anggota, meningkatkan ketidakhadiran anggota dalam kegiatan dan pengunduran diri anggota dari suatu organisasi.
[1] J. Winardi, Pemikiran
Sistemik Dalam Organisasi dan Manajemen, Raja Grafindo Persada, 2007.
Jakarta, hal 161
[3] Veithzal Rivai dan Selviana Murni, Education Manajement,
Raja Grafindo Persada, 2009. Jakarta hal 805
[5] M. Dachnel Kamars, Administrasi
Pendidikan Teori dan Praktek, Univesitas Putra Indonesia Press, 2005.
Padang hal 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar