Rabu, 25 Maret 2020

MANAJEMEN KONFLIK


 A.    Pendahuluan
Majemen konflik pada bahasan ini merupakan manajemen konflik dalam organisasi. Menurut J Winardi: Organisasi merupakan sebuah kesatuan sosial yang dikoordinasi secara sadar  yang terdiri dari dua orang atau lebih guna mencapai tujuan bersama. Organisasi dicirikan oleh perilaku yang diarahkan kepada pencapaian tujuan. Organisasi mencapai tujuan dan sasaran secara lebih efesien dan efektif melalui kegiatan terpadu sejumlah individu dan kelompok[1]. Dalam mencapai tujuan bersama sering terjadi konflik yang sering menjadi masalah serius dalam organisasi. Konflik dapat menciptakan kondisi yang kacau yang membuat anggota organisasi tidak dapat bekerja bersama. Dipihak lain konflik mempunyai sisi positif yang menimbulkan kekuatan sehingga  anggota organisasi dapat bekerja secara efektif . Oleh karena itu konflik perlu dikelola sehingga dapat menguntungkan bagi organisasi.
Sebelum menjelaskan “Management Konflik”  perlu penyamaan persepsi tentang pengertian konflik. Stephen P. Robbins mendefenisikan konflik adalah proses yang ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif  sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama[2]. Definisi ini menjelaskan bahwa titik tertentu pada setiap kegiatan yang tengah berlangsung, terjadi interaksi ”bersilangan” dapat menjadi konflik antar pihak. Merurut Rivai dan Murni  bahwa pada dasarnya konflik bermula pada saat satu pihak dibuat tidak senang oleh, atau akan berbuat tidak menyenangkan kepada pihak lain mengenai sesuatu hal yang oleh pihak pertama dianggap tidak penting[3]. Dengan demikian konflik memiliki rentang tingkat konflik dari tindakan yang terbuka dan penuh kekerasan sampai pada bentuk halus ketidaksepakatan.
B.     Pandangan Tentang Konflik
Banyak pemikiran bahwa konflik harus dihindari dan ada pula yang menyatakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan dan tidak perlu dianggap buruk melainkan menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Perspektif baru bahwa konflik mutlak diperlukan agar kelompok atau organisasi bekerja secara efektif. Ketiga pandangan ini dijelaskan Stephen P. Robbins sebagai berikut:
1.      Pandangan Tradisional
Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dipandang secara negatif dan disinonimkan dengan kekerasan, pengrusakan dan irrasionalitas. Berdasarkan defenisi ini  konflik memiliki sifat dasar merugikan dan harus dihindari.
2.      Pandangan Hubungan Manusia
Pandangan hubungan manusia  mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar/ alamiah dan tidak terhindarkan dalam setiap kelompok/organisasi dan tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok.
3.      Pandangan Interaksionis
Perspektif ketiga mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok namun konflik juga sangat diperlukan agar kelompok  berkinerja secara efektif. Pendekatan ini mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai dan serasi cendrung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi[4].
Oleh karena itu untuk mengatakan konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat. Apakah konflik itu baik atau buruk tergantung pada tipe konflik. Beberapa konflik mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerja organisasi, inilah bentuk konflik yang konstruktif atau fungsional. Disamping itu ada konflik yang merintangi kinerja kelompok disebut konflik yang destruktif atau disfungsional. Apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sangat tergantung kepada jenis konflik.
Ada 3  jenis konflik yaitu tugas, hubungan dan proses.  Konflik tugas, menghubungkan isi dan sasaran kerja. Konflik hubungan, berfokus pada hubungan antar pribadi. Konflik proses, berhubungan dengan cara melakukan pekerjaan.
Kajian-kajian para ahli menunjukkan bahwa konflik hubungan yang tinggi hampir selalu disfungsional. Hal ini karena pengesekan dan permusuhan antar pribadi akan meningkatkan ketidak-serasian kepribadian dan menurunkan rasa saling pengertian sehingga menghambat penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Disisi lain konflik tugas dan konflik proses yang rendah sampai sedang bersifat fungsional. Pertanyaan adalah siapa yang harus melakukan apa? Jika pertanyaan ini menciptakan ketidakpastian tentang peran dan tugas, meningkatkan waktu penyelesaian tugas dan hasilnya maka para anggota akan bekerja dengan tujuan-silang (tidak menentu). Hal ini juga dapat bersifat disfungsional. Konflik tugas yang rendah sampai dengan sedang secara konsisten menunjukkan danpak positif pada kinerja kelompok/ organisasi karena konflik itu akan merangsang diskusi tentang gagasan-gagasan yang membantu kelompok berkinerja lebih baik.
Konflik bersifat fungsional/ konstruktif bila konflik itu memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan anggota kelompok, menjadi saluran yang merupakan sarana penyampaian masalah dan peredaan ketegangan dan memupuk lingkungan evaluasi diri serta perubahan.
C.    Manajemen Konflik
Jika konflik bersifat disfungsional, apa yang dapat dilakukan untuk meredakannya? Atau sebaliknya pilihan-pilihan apa yang ada jika konflik terlalu rendah (menciptakan konflik)?  Hal ini membawa kita pada persoalan managemet konflik.
Di atas telah diuraikan tentang konflik, selanjutnya untuk memehami management konflik ini dikutip pendapat Dachnel Kamars tentang manajemen yaitu usaha memanfaatkan berbagai sumber yang bersifat fisik dan non fisik untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan atau masalah dengan baik[5]. Dari pengertian ini dapat kita pahami bahwa manajemen konflik merupakan usaha untuk memanfaatkan konflik dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Management konflik merupakan bahasan bagaimana mengelola konflik dengan baik sehingga konflik tersebut bersifat konstruktif.
Jenis konflik hubungan atau permusuhan antara pribadi dalam suatu organisasi perlu segera diselesaikan karena akan berakibat tidak baik (destruktif) terhadap organisasi. Konflik tugas rendah dan sedang perlu dikelola (maneg) dengan baik sehingga jangan sampai menimbulkan ketidakpastian tentang peran dan tugas dari masing-masing anggota. Jika konflik tugas ini tinggi maka anggota organisasi akan bekerja tidak menentu dan merugikan organisasi. Demikian pula hal dengan konflik proses yang berkaitan dengan bagaimana cara melakukan suatu pekerjaan. Jika komflik ini tinggi dan menyebabkan anggota bekerja tidak menentu atau tidak ada kepastian tugas (deskripsi tugas) akan berakibat destruktif (disfungsional) bagi organisasi. Konflik proses rendah dan sedang akan merangsang munculnya ide-ide atau diskusi agar anggota bekerja dengan lebih baik.
Guna dapat mengelola konflik sehingga bersifat menguntungkan bagi organisasi maka perlu memahami beberapa hal yang menyebabkan konflik, teknik memecahkan konflik dan bagaimana merangsang konflik. Pemahaman yang mendalam tentang konflik akan dapat mengelola konflik yang menguntungkan bagi organisasi dan menghindari berbagai konflik yang merugikan bagi organisasi.
a. Penyebab Timbulnya Konflik
Terdapat beberapa faktor penyebab konflik. Pada uraian ini akan dijelaskan beberapa faktor sebagai mana dikemukanan Rivai dan Murni  yaitu: adanya saling ketergantungan, perbedaan tujuan dan prioritas, faktor birokrasi (lini-staf), kriteria penilaian prestasi yang tidak tepat, dan persaingan atas sumber daya yang langka[6].
1)      Saling Ketergantungan
Masing-masing subunit atau kelompok dalam organisasi mengembangkan suatu keinginan untuk memperoleh otonomi dan mulai mengejar tujuan dan kepentingannya masing-masing. Adanya saling ketergantungan aktivitas dari subunit menginginkan adanya otonomi, menyebabkan terjadinya konflik dalam organisasi.
2)      Perbedaan tujuan dan Prioritas
Perbedaan orientasi dari masing-masing subunit/kelompok mempengaruhi cara dari masing-masing subunit mengejar tujuannya dan sering kali dari tujuan masing-masing subunit  tersebut saling bertentangan yang menyebakan terjadinya konflik.
3)      Faktor Birokrasi (Lini-staf)
Faktor birokrasi merupakan konflik antara fungsi atau wewenang garis dan staf. Fungsi atau wewenang garis adalah keterlibatan secara langsung dalam menghasilkan keluaran organisasi. Manajer/Pemimpin lini berwewenang dalam pengambilan keputusan dalam lingkup bidang fungsionalnya. Dalam beberapa organisasi orang-orang yang berada dalam fungsi lini menganggap dirinya sebagai sumber organisasi  yang menentukan dan orang yang berada pada fungsi staf sebagai pemain nomor dua. Tindakan seperti ini menimbulkan adanya konflik dalam organisasi
4)      Kriteria Penilaian Prestasi Yang Saling Bertentangan
Kadang kala konflik dalam organisasi tidak disebabkan karena tujuan yang saling bertentangan tetapi cara organisasi dalam menilai prestasi yang dikaitkan dengan perolehan imbalan. Oleh karena itu dalam suatu organisasi perlu ditentukan kriteria penilai prestasi (standar penilaian) sehingga tidak membawa kepada konflik yang destruktif (buruk).
5)      Persaingan Terhadap Sumber daya Yang Langka
Persaingan dalam memperebutkan sumber daya tidak akan menimbulkan konflik manakala sumber daya yang tersedia berlimpah sehingga masing-masing sub unit dalam organisasi dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi ketika sumber daya yang ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dari masing-masing subunit dalam organisasi, maka masing-masing sub unit berupaya untuk mendapatkan porsi sumber daya yang langka tersebut lebih besar dari yang lainnya maka konflik mulai muncul. Sumber daya yang paling sering menimbulkan konflik adalah sumber daya keuangan, karena sumber daya tersebut pada sebagian organisasi merupakan sumber daya yang langka.

b.   Teknik Pemecahan Konflik
1)   Pemecahan masalah; pertemuan tatap muka pihak-pihak yang berkonflik dengan maksud mengidentifikasi masalah dan memecahkannya melalui pembahasan terbuka
2)   Sasaran atasan; menciptakatan sasaran bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama masing-masing pihak yang berkonflik
3)   Perluasan Sumberdaya; bila konflik disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya misalnya, uang, kesempatan promosi, perluasan kantor, dll.
4)   Penghindaran; menarik diri atau menekan konflik
5)   Penghalusan; mengabaikan arti perbedaan sembari menekan kepentingan bersama antara pihak-pihak yang berkonflik
6)   Kompromi; setiap pihak yang berkonflik mengorbankan sesuatu yang berharga
7)   Komando Otoritatif; manajer/pemimpin menggunakan otoritas formal untuk menyelesaikan konflik dan kemudian mengkomunikasikan keinginannya ke pihak-pihak yang terlibat
8)   Mengubah Variabel Struktur; mengubah struktur organisasi dan pola struktur interaksi pihak-pihak yang berkonflik melalui perancangan ulang pekerjaan, pemindahan, penciptaan posisi koordinasi dan lainnya[7]
c.    Teknik Perangsangan Konflik
1)        Komunikasi; mengunakan pesan-pesan yang bermakna ganda atau mengancam untuk meningkatkan tingkat konflik
2)        Memasukkan orang luar; menambahkan anggota yang berlatar belakang, nilai, sikap yang berbeda dari anggota-anggota yang ada kedalam kelompok/organisasi
3)        Restrukturisasi organisasi; mengatur ulang kelompok-kelompok kerja, mengubah tatanan dan peraturan, meningkatkan rasa saling ketergantungan dan mengubah struktur.
4)        Mengangkat oposisi; menunjuk penggirik untuk dengan sengaja menentang pendirian mayoritas yang dipegang oleh kelompok/organisasi[8]
D.    Penutup
Banyak orang secara serta merta menganggap bahwa konflik terkait dengan penurunan kinerja kelompok dan organisasi. Dari penjelasan di atas asumsi itu belum tentu benar. Konflik dapat bersifat konstruktif maupun destruktif terhadap fungsi kelompok atau organisasi. Untuk itu diperlukan management konflik sehingga tingkat konflik tetap optimal. Tingkat konflik yang optimal jika terdapat cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan pelepasan ketegangan, dan memprakarsai benih-benih perubahan.
Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi efektivitas kelompok atau organisasi, yang berakibat kekurangpuasan anggota, meningkatkan ketidakhadiran anggota dalam kegiatan dan pengunduran diri anggota dari suatu organisasi.


[1] J. Winardi, Pemikiran Sistemik Dalam Organisasi dan Manajemen, Raja Grafindo Persada, 2007. Jakarta, hal  161
[2] Stephen P Robbins, Perilaku Organisasi, Indeks, 2007. Jakarta hal 546
[3] Veithzal Rivai dan  Selviana Murni, Education Manajement, Raja Grafindo Persada, 2009. Jakarta hal 805
[4] Stephen P Robbins, op.cit. hal 256-257
[5] M. Dachnel Kamars, Administrasi Pendidikan Teori dan Praktek, Univesitas Putra Indonesia Press, 2005.
   Padang hal  24
[6] Veithzal Rivai dan  Selviana Murni, op.cit hal 808
[7] Stephen P Robbins, op.cit.  hal 557
[8] Stephen P Robbins, ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LIBURAN DAN CUTI TAHUNAN GURU PNS ?

oleh Afwan Tarihoran, M.Pd. A.         Pendahuluan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1 menyebutkan: Guru...