A. Pendahuluan
Secara defenisi kata tenaga
edukatif yang dalam hal ini kita sebut “Guru” bermakna sebagai pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik[1].
Tugas utama itu akan efektif jika guru memiliki profesionalitas tertentu yang
tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang
memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu. Guru profesional adalah guru
yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial
dan kompetensi profesional.
Peningkatan profesi guru berarti
pembinaan dan pengembangan ke 4 kompetensi guru yang dilakukan melalui strategi
dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun non diklat. Peningkatan
kompetensi melalui diklat misalnya magang, mitra sekolah, pelatihan khusus,
pembinaan internal sekolah, pendidikan lanjut. Non diklat misalnya diskusi
masalah pendidikan, seminar, workshop, penelitian, penulisan buku ajar,
pembuatan media[2].
Untuk meningkatkan profesionalisme
guru dengan 4 kompetensi dimaksud di atas sesuai judul materi yang diberikan
kepada saya. Rasanya hal itu tidak memungkinkan untuk kita uraikan dalam
kesempatan ini. Oleh karena itu kesempatan kali ini kita akan membicarakan
bagian kecil dari kompetensi pedagogik
berupa keterampilan dasar mengajar yaitu apersepsi dengan judul “Apersepsi
Dalam Proses Pembelajaran”.
B. Keterampilan Dasar Mengajar
Seorang guru yang profesional
tentunya memiliki kompetensi pedagogik, diantaranya adalah kemampuan atau
keterampilan dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran, sering disebut
dengan keterampilan dasar mengajar. Beberapa keterampilan dasar mengajar: Keterampilan
bertanya, Keterampilan memberi penguatan, Keterampilan mengelola kelas, Keterampilan
menjelaskan, Keterampilan membimbing kelompok kecil, Keterampilan mengadakan
variasi, Keterampilan membuka dan menutup pelajaran, Keterampilan
mengajar kelompok kecil[3]
Usaha atau kegiatan yang
dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan pra
kondisi bagi siswa agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang
dipelajarinya ini dinamakan dengan membuka pelajaran. Usaha tersebut akan
memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar. Kegiatan membuka
pelajaran dilakukan oleh guru tidak harus awal jam pelajaran yang
diberikan selama jam pelajaran itu. Membuka pelajaran dapat dilakukan dengan
cara mengemukakan tujuan yang akan dicapai, menarik perhatian
siswa, memberi acuan, dan membuat kaitan antara materi pelajaran yang telah
dikuasai oleh siswa dengan bahan yang dipelajarinya[4].
Berdasar saat guru memulai
mengajar atau membuka pelajaran ini guru dapat dibedakan atas dua kelompok. Pertama,
guru lansung mengajarkan materi yang akan di ajarkan. Biasanya guru ini masuk
kelas, memberi salam kemudian memberi instruksi. Kedua, guru yang mulai
mengajar dengan menyampaikan berbagai pengalaman menarik terlebih dahulu
untuk menarik perhatian siswa misalnya cerita lucu, gambar menarik, melantunkan
musik dan kegiatan lain yang mengundang perhatian siswa. Guru dalam kelompok
pertama adalah guru yang mengajar tanpa apersepsi dan
kelompok kedua guru yang menggunakan apersepsi, artinya guru memberikan rangsangan (stimulus) diawal
pembelajaran.
C. Apersepsi Dalam Proses Pembelajaran
Sebagian guru kurang memahami tentang
apersepsi dan banyak guru
beranggapan bahwa apersepsi hanya berpengaruh kecil
terhadap proses pembelajaran, padahal kenyataannya belum tentu demikian.
Menit-menit pertama dalam proses pembelajaran merupakan hal yang terpenting
untuk proses selanjutnya. Teori apersepsi mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk pembelajar. Sifat dasar manusia adalah memerintah
dirinya sendiri, lalu melakukan reaksi atau berekasi terhadap instruksi yang
berasal dari lingkungannya jika dia dibekali oleh dorongan atau rangsangan
(stimulus) khusus[5].
Pertama: setiap manusia adalah makhluk pembelajar.
Apabila semua guru memahami ini maka akan muncul paradigma yang menyatakan
bahwa siswa di kelas adalah para makhluk yang sebenarnya siap untuk belajar.
Jika ada siswa yang tidak mau belajar, itu disebabkan faktor luar yang
mempengaruhinya. Untuk siswa mau belajar kembali tentunya sangat terkait
dengan cara guru dan komponen sekolah
lain dalam melakukan pendekatan kepada siswa tersebut.
Kedua, secara alamiah manusia punya
kemampuan memerintah kepada dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu, yang berasal
dari rangsangan dan kualitas informasi yang masuk kedalam otaknya. Banyak guru
yang memiliki pandangan lain terhadap hal ini. Siswa yang tidak mau menuruti
instruksi guru dianggap anak yang nakal, tidak mau belajar. Padahal kualitas
informasi itulah yang menjadikan siswa mau atau tidak melakukan instruksi
sebagai reaksinya. Jika guru rajin menerapkan apersepsi siswa akan mau
melaksanakan instruksi dengan cepat. Bahkan siswa menganggap instruksi itu
berasal dari dirinya sendiri dengan rasa keingin tahuan siswa.
Ketiga, manusia bereaksi terhadap
instruksi yang berasal dari lingkungannya jika dibekali dorongan (stimulus)
khusus. Misalkan 2 orang guru mengajar dengan materi yang sama, guru A mendapat
antusias dari siswa dalam melaksanakan instruksi sedangkan guru B tidak dan
hasilnya pun berbeda, kenapa? Mungkin karena guru A melakukan dorongan
(stimulus) khusus kepada siswa sedang guru B tidak.
Bobbi Deporter menjelaskan
kerangka rancangan quantum teaching
bernama TANDUR, yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan,
Ulangi dan Rayakan. Tumbuhkan adalah aktivitas menyertakan
diri siswa, pikat siswa, puaskan AMBAK (Apa Mamfaatnya Bagi
Ku). Alami adalah memberikan pengalaman belajar, tumbuhkan
kebutuhan untuk mengetahui. Namai adalah memberikan data tepat saat
minat memuncak[6]. Ketiga bagian (tumbuhkan,
alami dan namai) merupakan bagian dari apersepsi.
Dari uraian di atas bahwa rangsangan
(stimulus) khusus pada proses pembelajaran yang bertujuan meraih perhatian
siswa adalah apersepsi. Apersepsi ini sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran
terutama pada saat memulai/ membuka pembelajaran.
D. Sumber-sumber Apersepsi
Gelombang otak manusia dapat
dibedakan atas 4 zona yaitu delta, teta, alfa dan beta[7]. Zona
Alfa merupakan kondisi yang ampuh untuk melakukan apersepsi dalam proses
pembelajaran.
1. Gelombang Delta (0,5 – 3,5 Hz)
Kondisi
seorang dalam gelombang delta adalah tidur tanpa mimpi. Dalam
kondisi delta paling tidak tepat dalam untuk proses belajar sebab tidak mungkin
guru memberikan materi kepada siswa yang sedang nyaman tidur.
2. Gelombang Teta (3,5 – 7 Hz)
Kondisi
seseorang dalam kondisi teta adalah tidur dan bermimpi. Di zona
Teta seseorang dapat mengeluarkan ide-ide kreatif atau mendapat jawaban atas
sesuatu yang sulit diperoleh sebelumnya. Termasuk dalam zona teta ini yaitu
melamun, membayangkan flim yang pernah ditonton, mengantuk dan akhirnya
tertidur. Kondisi ini kurang baik dalam proses pembelajaran karena pada kondisi
ini siswa cendrung mengeluarkan sesuatu.
3. Gelombang Alfa (7 – 13 Hz)
Zona alfa
adalah tahap paling iluminasi (cemerlang) proses kreatif otak seseorang. Seseorang yang sedang masuk
dalam kondisi alfa akan mengalami relaks tapi waspada; seperti sedang
melamun tetapi sebenarnya sedang berpikir. Intinya otak bekerja dengan relaks.
Kondisi ini paling baik untuk belajar sebab neuron (sel saraf) sedang berada
dalam suatu harmoni (keseimbangan). Kondisi pada zona ini dipercaya oleh banyak
ahli tepat untuk melakukan sugesti diantaranya proses belajar mengajar.
4. Gelombang Beta (13 – 25 Hz)
Zona beta, saat seseorang sedang marah, stres
dan pusing ketika seseorang berada dalam kenyataan sehari-hari. Di kelas
kondisi beta ditandai oleh para siswa asyik mengobrol sendiri, tidak memberikan
perhatian kepada guru, siswa sedang berkelahi atau menunjukkan mimik sedang
marah, tidak enak hati. Jika kondisi seperti ini, sebaik apapun anda mengajar,
otomatis semuanya tidak berhasil.
Penjelasan tentang gelombang otak
di atas semakin jelas bahwa kondisi terbaik untuk belajar siswa adalah zona
alfa. Jika siswa sedang stres, marah sebaiknya jangan meneruskan proses
pembelajaran. Jika siswa melamun,
mengantuk apalagi tertidur hentikan proses pembelajaran karena hal itu percuma
saja, karena siswa tidak pada kondisi teta atau bahkan delta. Lalu bagaimana
cara mengatasinya? Guru harus berusaha sekuat tenaga mengembalikan siswa
ke zona alfa dengan cara memberikan stimulus khusus (melakukan apersepsi).
Kondisi alfa adalah kondisi yang
relaks dan menyenangkan. Siswa masuk ke zona alfa jika siswa senang yang ditandai
dengan wajah ceria, tersenyum dan tertawa. Menurut Munif Chatib ada 4 cara yang
dapat membawa siswa pada kondisi zona gelombang alfa yaitu ice breaking, fun
story, musik dan brain gym[8].
Ice breaking merupakan kegiatan
siswa misalnya berdiri sejenak, bertepuk tangan, berbaris dll. Fun story dapat
berupa cerita lucu, gambar lucu, atau teka teka yang dapat diperoleh melalui
pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, buku atau internet. Musik dapat
berupa lagu-lagu atau alunan musik. Brain gym adalah senam otak yang merupakan
gerakan tubuh sederhana misalnya menggerakkan bola mata kekiri dan kekanan,
dalam kondisi duduk tumpangkan kaki kiri di atas kaki kanan dan tangan kiri di
ata tangan kanan.
E. Penutup
Guru sebagai tenaga profesional
mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik. Sebagai tenaga profesional guru harus memiliki
keterampilan mengajar. Apersepsi merupakan hal yang berpengaruh dalam proses
pembelajaran, oleh karena itu dalam mengajar seharus seorang guru profesional
mampu memberikan stimulus khusus bagi siswa sebagai bagian dari keterampilan
mengajar. Pemberian apersepsi untuk mengembalikan gelombang otak siswa pada
zona alfa yang dapat dilakukan
dengan cara ice breaking, fun story, musik dan brain gym.
----oo0oo----af
[3] Ahmad Sabri, Strategi
Belajar Mengajar Micro Teaching, Quantum Teaching, 2007. Padang, hal
79-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar