A.
Filsafat Pendidikan
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia
yang terdiri dari dua kata Philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran[1].
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa filsafat
terdiri dari tiga cabang besar yaitu ontologi, epistomologi dan aksiologi.
Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan: ontologi,
membicarakan hakekat (segala sesuatu); ini berupa pengetahuan tentang hakekat
segala sesuatu. Epistemologi cara memperoleh pengetahuan itu. aksiologi
membicarakan guna pengetahuan itu.[2]
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang
sebenarnya, yang mendalam. Selanjutnya Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa isi
cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)-nya. Jika
memikirkan pendidikan maka jadilah filsafat pendidikan. Jika yang dipikirkan
hukum maka jadilah filsafat hukum, dan seterusnya. Seberapa luas yang
dipikirkan? Luas sekali. Yaitu semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek
filsafat. Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan
etika jadilah ia filsafat etika dan seterusnya[3].
Objek kajian atau penelitian filsafat
lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang
ada, sedangkan filsafat mengkaji objek yang ada dan mungkin ada. Lebih
tegasnya sain meneliti objek yang ada dan empiris, yang ada
tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain. Sedangkan
filsafat dapat meneliti objek yang ada tetapi abstrak.
Filsafat membicarakan cara memperoleh pengetahuan
filsafat. Para filosof sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan terlebih
dahulu cara memperoleh pengetahuan tersebut. Pada umumnya orang mementingkan
apa yang diperoleh atau apa yang diketahui bukan cara memperoleh atau
mengetahuinya. Lalu bagaimana cara memperoleh pengetahuan filsafat? Tentunya
denga cara berpikir secara mendalam tentang sesuatu yang abstrak dan mungkin
juga sesuatu yang konkrit.
Sesuai dengan objek filsafat, maka filsafat pendidikan
membicarakan atau memikirkan pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan gabungan
dari dua kata filsafat dan pendidikan. Oleh karena itu guna
menyingkap pengertian filsafat pendidikan sudah tentu mengurai pengertian kedua
kata tersebut masing-masing. Telah diuraikan dimuka konsep, objek kajian dan
metodologi filsafat, maka filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analisis
filsafat dalam bidang pendidikan. Guna mendapatkan pengertian filsafat
pendidikan lebih jelas maka kita tentunya selanjutnya kita perlu melihat konsep
pendidikan. Jalaluddin dan Abdullah Idi mengartikan pendidikan sebagai suatu
proses usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam
membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai dan dasar-dasar
pandangan hidup kepada generasi muda agar menjadi manusia yang sadar dan
bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya[4].
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefesikan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengembangan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[5].
Dari uraian tentang filsafat dan pendidikan maka dapat
ditarik suatu pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai suatu ilmu
pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan, merumuskan kaidah-kaidah,
norma-norma dan/ atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya
dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Made Pidarta mendefenisikan filsafat pendidikan ialah hasil
pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai
pendidikan[6].
Selanjutnya Zaprulkhan menyatakan bahwa filsafat pendidikan merupakan
terapan ilmu filsafat terhadap problema pendidikan atau filsafat yang
diterapkan dalam suatu usaha pemikiran (analisis filosofis) mengenai masalah
pendidikan.[7]
Penerapan filosofi pendidikan diharapkan penyelenggaraan
pendidikan bisa mengharmonisasikan antara tujuan pendidikan dengan tujuan
kehidupan manusia. Menurut Zaprulkhan, jika filsafat diterapkan pada kegiatan
pendidikan maka aspek ontologi adalah proses pendidikan dengan penekanan
pada pendirian filsafat hidup (philosophy of life) suatu pandangan hidup
yang dijiwai nilai kejujuran. Dari filsafat hidup tersebut diharapkan adanya
pertumbuhan dan perkembangan kematangan spritual, berupa wawasan luas yang
menyeluruh dan padu meliputi asal mula, eksistensi dan tujuan hidup. Aspek epistemologi
pendidikan menekankan sistem kegiatan pendidikan pada pembentukan sikap
ilmiah (scientific attitude),
suatu sikap yang dijiwai nilai kebenaran. Dari sikap ilmiah itu diharapkan adanya
pertumbuhan dan perkembangan kematangan inelektual berupa kreativitas dan
keterampilan hidup (creativities an skill of live). Aspek etika
pendidikan menekankan pada sistem kegiatan pada pengembangan perilaku
bertanggung jawab (responsible conduct), suatu perilaku yang dijiwai
oleh nilai keadilan. Dengan perilaku bertanggung jawab ini diharapkan
kematangan emosional bisa tumbuh dan berkembang yaitu kemampuan mengendalikan
diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas [8]
Psikologi sering diterjemahkan menjadi ilmu jiwa,
yakni dari kata psyche yang berarti jiwa, roh dan logos yang
berarti ilmu. Psikologi menyelidiki segala sesuatu yang dapat memberikan
jawaban tentang apa sebenarnya manusia
itu, mengapa ia berbuat/ berlaku demikian, apa yang mendorong ia berbuat
demikian, apa maksud dan tujuannya ia berbuat demikian. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa psikologi ialah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia[9].
Yang dimaksud dengan tingkah laku adalah segala kegiatan/
tindakan/ perbuatan manusia yang kelihatan
maupun yang tidak kelihatan, yang disadari maupun yang tidak
disadarinya. Termasuk didalamnya cara ia berbicara, berjalan, berpikir/
mengambil keputusan, cara melakukan sesuatu, cara bereaksi terhadap sesuatu
yang datang dari luar dirinya, maupun yang datang dari dalam dirinya.
Pada umumnya psikologi dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu psikologi metafisika, yang
menyelidiki hakekat jiwa dan psikologi empiri,
yang menyelidiki gejala-gejala kejiwaan dan tingkah laku manusia dengan
menggunakan pengamatan (observasi), percobaan atau eksperimen dan pengumpulan
berbagai macam data yang ada hubungannya dengan gejala-gejala kejiwaan manusia.
Psikologi empiri dapat dibagi lagi atas: 1) Psikologi umum, yang menyelidiki/
mempelajari gejela kejiwaan manusia pada umumnya. 2) Psikologi khusus, yang
menyelidiki gejala-gejala kejiwaan manusia menurut aspek-aspek tertentu sesuai
dengan pandangan serta tujuannya. Maka terdapatlah bermacam-macam psikologi
seperti antara lain: psikologi perkembangan, psikologi pemuda, psikologi
kedokteran, psikologi kriminal, psikologi pendidikan, psikologi sosial, karakterologi
(ilmu watak) [10].
Berdasarkan uraian psikologi di atas, maka jika
penyelidikan gejala-gejala kejiwaan pada aspek belajar atau pendidikan maka
psikologi belajar atau psikologi pendidikan. Sebagai landasan dalam membahas
psikologi belajar dikutip pengertian belajar. Daryanto menyatakan: belajar
ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya[11].
Dimyati dan Mudjiono menjelaskan bahwa belajar merupakan
tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan maka belajar hanya
dialami siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya
proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada
dilingkungan sekitar[12].
Hal belajar ini banyak teori dan prinsip-prinsip belajar
yang dikemukakan para ahli, yang satu
dengan yang lainnya memiliki persamaan dan perbedaan yang tidak mungkin
dijelaskan dalam kesempatan ini. Dari berbagai prinsip belajar tersebut
terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum. Prinsip tersebut
sebagaimana dijelaskan Dimyati dan Mudjiono berkaitan dengan: perhatian dan
motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/ berpengalaman, pengulangan,
tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual[13].
Slameto menyatakan bahwa pengertian secara psikologis,
belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai
hasil interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku[14].
Proses belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
intern maupun faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri
individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada
diluar individu. Faktor intern terdiri dari faktor jasmaniah, faktor psikologis
dan kelelahan. Faktor ekstern terdiri dari faktor keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Slameto menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada tujuh
yang tergolong kedalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar.
Faktor-faktor itu adalah inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan dan kesiapan[15].
Intelegensi adalah kecakapan yang
terdiri atas tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan
kedalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/ menggunakan
konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui relasi dan mempelajarinya
secara cepat
Perhatian adalah keaktifan jiwa
yang dipertinggi, jiwa itu pun semata-mata tertuju kepada suatu objek
(benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk
dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian
terhadap bahan yang dipelajarinya.
Minat adalah kecendrungan yang
tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang
diminati seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa
senang. Jadi berbeda dengan perhatian, karena perhatian sifatnya sementara
(tidak dalam waktu yang lama) dan belum tentu diikuti dengan perasaan senang,
sedangkan minat selalu diikuti dengan perasaan senang dan dari situlah
diperoleh kepuasan.
Bakat adalah kemampuan untuk
belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata
sesudah belajar atau berlatih. Seorang yang berbakat pidato akan lebih cepat
dapat berpidato dengan lancar dibandingkan dengan orang lain yang tidak
berbakat pada bidang itu.
Motif erat sekali hubungannya
dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk mencapai tujuan tentu perlu berbuat,
sedangkan yang menjadi pennyebab berbuat adalah motif itu sendiri. Jadi motif
merupakan daya penggerak/ pendorong untuk melakukan sesuatu.
Kematangan adalah suatu tingkat/
fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk
melaksakan kecakapan baru. Misalnya anak
dengan kakinya sudah siap untuk berjalan, tangan dengan jari-jarinya sudah siap
untuk menulis, dengan otaknya sudah siap untuk berpikir abstrak, dan lain-lain.
Belajar akan lebih berhasil jika anak sudah siap (matang). Jadi kemajuan baru
untuk memiliki kecakapan tergantung dari kematangan dan belajar.
Kesiapan adalah kesedian untuk
memberi respons atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang
dan juga berhubungan erat dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan
untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan perlu diperhatikan dalam proses belajar,
karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya
akan lebih baik.
----oo0oo----af
Tidak ada komentar:
Posting Komentar